Fenomena Buruh Tani di Perdesaan

  • Feb 22, 2023
  • Cecep Supriyadi
  • Artikel

Banjarlor – Desa sangat identik dengan pertanian. Wilayah perdesaan seringkali dideskripsikan sebagai hamparan lahan pertanian yang subur nan hijau. Pada paparan demografi, secara umum sering dinyatakan bahwa mayoritas mata pencaharian masyarakat desa adalah petani. Akan tetapi hal terakhir tersebut telah menimbulkan persepsi yang kurang logis.

Lahan-lahan pertanian di perdesaan dimiliki oleh hanya sebagian kecil masyarakatnya yang disebut sebagai petani pemilik lahan. Lahan-lahan tersebut terkadang ada yang digarap sendiri dan ada juga yang digarap oleh orang lain. Masyarakat yang menggarap lahan yang bukan miliknya disebut petani penggarap. Pada proses budidaya pertanian (pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman/OPT, panen dan pasca panen), baik petani pemilik lahan maupun petani penggarap pada umumnya akan mempekerjakan orang lain. Pekerja-pekerja ini disebut buruh tani.

Jumlah personal buruh tani cukup dominan dalam lingkup status pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian. Walaupun demikian, dalam rentang satu musim tanam, mata pencaharian sebagian besar mereka tidaklah konsisten sebagai buruh tani. Sambil menunggu musim tanam (tandur) dan juga musim panen, sebagian besar mereka akan melakukan kegiatan lain demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain merantau dan bekerja di kota besar sebagai buruh bangunan, sebagian mereka juga berwirausaha, berdagang, dan menjadi buruh harian lepas di desa sebagai alternatif mata pencaharian lainnya. Bahkan, ada juga yang tidak bekerja atau sebatas mengurus rumah tangga (pada umumnya wanita).

Baca juga: Karnaval dan Jalan Sehat pada Masa Degradasi Pandemi

Jika melihat “kalender” musim tanam, wilayah perdesaan yang memiliki sistem irigasi yang baik dan curah hujan yang cukup, rata-rata dalam satu tahun akan mengalami tiga kali musim tanam (di desa kami musim tanam sering disebut dengan istilah “akar”). Tiga kali musim tanam dalam satu tahun dapat kita periodesasikan menjadi tiga catur wulan. Wilayah perdesaan yang memiliki sistem irigasi yang kurang atau tidak baik, atau bahkan hanya mengandalkan curah hujan (sawah tadah hujan) maksimal akan mengalami dua kali musim tanam. Periodesasinya bukan berarti dua semester, tetapi tetap catur wulan, hanya saja ada satu periode dimana lahan pertanian tidak digarap dan dibudidayakan.

Pada setiap catur wulan, hampir tidak ada buruh tani yang konsisten bekerja di bidang pertanian. Triyono, seorang ketua kelompok tani mengungkapkan bahwa pada rangkaian pekerjaan penyemaian benih, pengolahan lahan, dan penanaman, seorang buruh tani laki-laki maupun perempuan rata-rata menghabiskan waktu maksimal 2 minggu atau setengah bulan bekerja di bidang pertanian. Setelah itu mereka mengambil pekerjaan alternatif seperti telah disebutkan di atas. Kemudian pada rangkaian proses pemupukan, pemeliharaan tanaman, dan pengendalian OPT, mereka juga rata-rata menghabiskan waktu maksimal setengah bulan. Demikian juga halnya pada tahapan panen dan pasca panen, rata-rata menghabiskan waktu maksimal setengah bulan. Total dalam satu musim tanam, seorang buruh tani laki-laki maupun perempuan menghabiskan waktu dalam status pekerjaan mereka sebagai buruh tani selama 1,5 bulan. Jika dihitung dalam rentang satu tahun, maka pekerjaan mereka sebagai buruh tani hanya selama 4,5 bulan.

Berdasarkan paragraf di atas, maka dalam rentang satu tahun durasi atau lamanya waktu seorang buruh tani konsisten bekerja di bidang pertanian hanya sebesar 37,5%, sisanya mereka bekerja diluar bidang pertanian. Frekuensi pekerjaan sebagai buruh tani lebih kecil dibanding frekuensi pekerjaan alternatif yang dilakukannya. Dengan kata lain, mereka lebih sering menjalankan pekerjaan alternatifnya dari pada pekerjaan inti yang tersebut pada status pekerjaannya (buruh tani). Pertanyaannya, “Mereka buruh tani atau pedagang?, buruh tani atau buruh bangunan?, buruh tani atau buruh harian lepas?, buruh tani atau apa?”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan fungsinya, tanah di perdesaan memang relatif didominasi oleh lahan pertanian, akan tetapi pernyataan yang menyebutkan mayoritas mata pencaharian masyarakat desa adalah petani merupakan pernyataan yang kurang tepat.

 

(csi)